Dokter Ini Blak-Blakan Soal Bobroknya Penanganan Covid-19 di Surabaya - Tips Dokter
Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dokter Ini Blak-Blakan Soal Bobroknya Penanganan Covid-19 di Surabaya

Blak-Blakan Dokter soal Bobroknya Penanganan Covid-19 di Surabaya


Seorang dokter bernama Aditya C. Janottama yang bekerja di salah satu rumah sakit (RS) rujukan Covid-19 di Surabaya, Jawa Timur mengeluhkan dukungan pemerintah kota yang sangat minim terhadap para tenaga kesehatan.

Aditya menumpahkan keluh kesahnya melalui akun Twitter @cakasana pada Selasa (26/5/2020).

Pertama, dia mengeluhkan kondisi sebagian besar RS rujukan di Surabaya yang minim fasilitas medis seperti ruang ICU dan ventilator yang sangat dibutuhkan dalam menangani pasien Covid-19.

"Nah, apes-apesnya pasien aja kalau ini. Kalau ke RS yang ga ada ventilatornya, ya kalau [terjadi] perburukan, ga ada yang bisa dilakukan," cuitnya lewat akun Twitter @cakasana.

Lebih lanjut, upaya Pemkot Surabaya dalam membangun beberapa RS tambahan juga dinilainya kurang maksimal dari sisi kesiapan fasilitas medis. Walhasil, RS 'dadakan' ini jelas tidak mampu menampung pasien Covid-19 dengan kondisi berat.

Kemudian, Aditya juga mengkritisi keberadaan laboratorium pemeriksaan spesimen di Surabaya.

Informasi yang dia ketahui, hanya 3 laboratorium di Surabaya yang bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan.


Laboratorium lainnya merupakan milik swasta dan diperlukan biaya relatif mahal jika masyarakat ingin memeriksakan diri terkait Covid-19.

Paling disayangkannya adalah tiga laboratorium yang bekerja sama dengan Kemenkes tersebut ternyata tidak menerima sampel baru selama Hari Raya Idulfitri yakni pada 21-24 Mei 2020.

Walhasil ada banyak pasien yang harusnya dites swab harus tertunda. Jika ditambah dengan penumpulan sampel pemeriksaan selama 3-5 hari maka kemungkinan ada pasien yang meninggal sebelum hasil tesnya diketahui.

Jika melihat fakta yang dibeberkan Aditya, tidak salah jika Provinsi Jawa Timur (Jatim) menjadi wilayah dengan penularan infeksi Covid-19 paling tinggi dibandingkan daerah lain di Pulau Jawa.

Utas itu dibuat dengan judul tak menyenangkan, dan telah disukai oleh sebanyak lebih dari 23 ribu orang.

"Oke kalau gitu kita mulai saja... SEBUAH UTAS tentang bobroknya penanganan COVID-19 di Surabaya," katanya mengawali.

"Disclaimer: saya dokter yang bekerja di salah satu RS rujukan di Surabaya. Informasi bbrp tidak bisa saya sebutkan sumbernya, tp insyaallah valid," lanjutnya.

Dokter Aditya dalam cuitannya mengeluhkan adanya pembagian ventilator yang tidak merata di 15 RS rujukan di Surabaya.

"Ada yang punya ventilator, ada yang tidak. Ada yang ICUnya siap untuk COVID-19, ada yang tidak. Ada yang kamarnya pakai exhaust, ada yang pakai angin jendela," katanya.

Ia juga menyebut bahwa bantuan dari pemkot hanya satu ventilator ke RS Husada Utama, sementara di RS yang ditempatinya tidak mendapat bantuan.

Lebih lanjut ia terus mengeluhkan terkait minimnya APD dan pemeriksaan yang tak merata.

"Sebelum dapet hazmat yang bagus, kami di IGD malah pakai jas hujan. Mau liat fotonya? Ini dia!

PS: Saya beli sendiri gownnya itu. Gerah cuy pakai jas hujan"

Bantahan Pemkot dan RS


Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya, M Fikser, membantah celotehan-celotehan dokter Aditya.

Fisker memastikan, Pemkot Surabaya telah membantu baju alat pelindung diri (APD) sebanyak 82.651 buah kepada 50 rumah sakit rujukan dan non-rujukan serta Labkesda.

"Total ada 82.651 baju APD yang diberikan kepada 63 puskesmas, 50 RS rujukan dan non-rujukan serta Labkesda," kata Fikser, di Dapur Umum Balai Kota Surabaya, Rabu (27/5/2020).

"Selain itu, kami juga bantu masker bedah, masker N95, face shield, sepatu booth, goggle, sarung tangan, ventilator, dan berbagai peralatan medis lainnya ke rumah sakit-rumah sakit itu," tambahnya.

Fisker mengatakan, bantuan itu ditujukan untuk tenaga medis yang bertugas.

Kendati hambatannya yakni, persoalan apakah APD tersebut sudah sampai ke tangan tenaga medis atau belum.

"Tapi yang pasti, kami memiliki data semua APD yang diterima oleh Pemkot, langsung hari itu juga didistribusikan ke rumah sakit-rumah sakit itu. Bahkan, Bu Wali Kota sendiri yang membaginya rata-rata sesuai kebutuhan dan kami ada bukti terimanya," ujarnya.

Terkait penanganan Covid-19 di Surabaya, Fisker menyebut pihaknya terbuka sejak awal.

"Selain itu, kami juga melakukan penanganan Covid-19 dengan melakukan rapid test massal dan yang reaktif diajukan untuk melakukan tes swab. Ini semua kami buka karena kami tidak ingin seperti gunung es, kami buka tabir ini semuanya," kata Fisker.

Oleh karenanya ia mengimbau kepada tenaga medis yang masih belum puas untuk datang langsung ke Balai Kota Surabaya dan berdiskusi dengan tim Gugus Tugas.

Yang disayangkan adalah, tenaga medis tersebut tidak menyampaikan pemikiran-pemikirannya langsung kepada yang bersangkutan.

Terlebih apa yang disampaikan oknum tersebut tidak melekatkan data-data dan bersifat asumsi.

Padahal corona adalah wabah yang menjadi tanggung jawab seluruh elemen masyarakat.

"Jadi, kami sangat menyayangkan kalau itu disampaikan di media sosial karena akhirnya akan menimbulkan persepsi atau pemahaman yang keliru di masyarakat. Kasihan yang terlibat di dalam penanganan ini begitu banyak orang, termasuk dari medis, teman-teman beliau juga,” kata dia.

Sehubungan dengan itu, Jubir RS Royal Surabaya dr Dewa Nyoman Sutanaya mengatakan, pihaknya akan menentukan sikap.

Dewa memastikan si pembuat utas adalah Dokter Jaga IGD di RS Royal Surabaya.

Dewa juga membantah dengan tegas klaim dokter Aditya yang menyebut rumah sakitnya tak mendapat bantuan pemerintah.

Ia menganggap pernyataan tersebut adalah pendapat pribadi yang bersangkutan tanpa didukung data yang valid.

"Pihak Rumah Sakit Royal Surabaya tidak bertanggung jawab terhadap apapun yang menjadi pendapat atau pernyataan pribadi karyawan rumah sakit di media sosial maupun media lainnya," kata Dewa.

Pihaknya pun meminta maaf, dan menyatakan bakal menindak tegas oknum dokter yang berbicara tanpa data.

Pihak rumah sakit akan memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan berdasarkan rekomendasi dari Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit Royal Surabaya.

"Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi," ujarnya.


Munculnya Zona Hitam Corona di Surabaya

Pantas Saja Surabaya Jadi Zona Hitam, Dokter Ini Blak-Blakan Soal Bobroknya Penanganan Covid-19



Virus corona yang mewabah di Indonesia sejak 2 Maret 2020, hingga kini belum menunjukkan episode akhir. Kurva penyebaran virus corona pun belum melandai.

Sampai Rabu (3/6) tercatat sebanyak 28.233 orang terjangkit virus ini, dan sebanyak 1.698 pasien meninggal dunia.


Hal yang perlu digarisbawahi, di beberapa daerah penambahan pagebluk COVID-19 kian meresahkan.

Salah satu contohnya di Surabaya, Jawa Timur. Pada Rabu (3/6), Jawa Timur jadi provinsi penyumbang jumlah pasien positif COVID-19 terbanyak di Indonesia.

Di hari tersebut, tambahan kasusnya mencapai 183 orang, sehingga total pasien positif mencapai 5.310 orang (data dihimpun dari infocovid19.jatimprov.go.id.)

Namun, dari banyaknya kota di Jawa Timur, Kota Surabaya yang kini menyita banyak perhatian.

Pada Selasa (2/6), kota tersebut memiliki 2.748 kasus positif virus corona. Dengan kata lain, lebih dari setengah angka positif virus corona di Jawa Timur, disumbang oleh kota Surabaya.

Nah, kondisi inilah yang membuat kota Surabaya kini dikategorikan sebagai zona hitam. Hhmm, zona hitam? Apa artinya?

Berpotensi Seperti Wuhan?

Menurut Dicky Budiman, Epidemiolog dari Griffith University Australia, kondisi zona hitam bisa memiliki arti darurat.

"Sudah lebih dari zona bahaya yakni merah. Artinya, penambahan kasusnya sudah tinggi, lebih dari 2.000-an biasanya," ujarnya.

Ia juga menambahkan, warna yang tampak seperti hitam tersebut aslinya adalah berwarna merah. "Sebetulnya yang aslinya itu bukan warna hitam, aslinya warna merah. Jadi ketika angka kasus baru di atas 2.000-an, maka daerah itu akan berwarna merah. Jadi tampak seperti hitam," ucap dia.

Selain itu, ada pula pendapat lainnya dari Ketua Rumpun Kuratif Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dr. Joni Wahyuhadi. Joni secara terang-terangan mengaku khawatir dengan penularan COVID-19 di Surabaya. Bahkan, kota ini disebut berpotensi menjadi kota Wuhan, Tiongkok, asal muasal pagebluk COVID-19.

Joni juga mengatakan, pihaknya kini tengah fokus menurunkan rate of transmission (tingkat penularan) virus corona terutama di Surabaya. Penyebaran virus di kota tersebut kini mencapai pangkat 1,6. Artinya, ketika 10 orang terinfeksi virus corona, dalam satu minggu bertambah menjadi 16 orang.

Surabaya Merah, Apa Kabar Jakarta?

Sebenarnya kota Surabaya sudah dilabeli warna hitam dalam peta penyebaran virus corona baru atau COVID-19 Jawa Timur, sejak empat hari terakhir. Akan tetapi, penetapan warna hitam tersebut mengundang banyak tanya.

Wakil Koordinator Hubungan Masyarakat Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Surabaya M Fikser, dibuat keheranan dengan zona hitam tersebut. “Ini yang bikin kita jadi bertanya, kenapa Surabaya dikasih itu (warna hitam). Seharusnya dikasih alasan-alasan di Provinsi Jatim," ujarnya.

Menurutnya, tak ada penjelasan ilmiah mengenai pemberian warna hitam tersebut. Ia menambahkan, DKI Jakarta yang mengantongi kasus lebih banyak ketimbang Surabaya, tetap memasang warna merah. Oleh karena itu, pria ini mengingatkan Pemprov Jawa Timur agar tak sembarangan memberikan label warna pada sebuah daerah. Singkatnya, harus sesuai dengan landasan ilmu dan teori yang pasti.

Di lain pihak, Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur mengatakan, meski pasien positif COVID-19 di Surabaya lebih dari 2.000, tak serta-merta masuk zona hitam seperti di dalam peta.

"Kemudian ada yang tanya, itu (di peta) kok ada yang hitam. Itu bukan hitam tapi merah tua. Seperti Sidoarjo yang angka kasusnya 500 (kasus) sekian merah sekali, kalau angkanya dua ribu sekian (Surabaya) merah tua," jelasnya.